Selasa, 25 Mei 2010

Filsafat Ilmu

METAFISIKA

Metafisika berasal dari bahasa Yunani meta yang berarti selain, sesudah atau terbalik dan fisika berarti alam nyata. Maksudnya Ilmu yang menyelidiki hakekat segala sesuatu dari alam nyata dengan tidak terbatas dengan apa yang ditangkap panca indra saja. Tafsiran metafisika yang paling pertama diberikan manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat ghaib (supranatural) atau wujud-wujud yang bersifat tinggi atau lebih kuat dibandingkan dengan alam nyata.[1]

Persoalan metafisika dibicarakan oleh Al-Kindi dalam beberapa risalahnya, antara lain risalah yang berjudul “Tentang Filsafat Pertama” dan “Tentang Keesaan Tuhan Dan Berakhirnya Benda-Benda Alam”. Pembicaraan dalam soal ini meliputi hakikat Tuhan, wujud Tuhan dan sifat-sifat Tuhan.

Hakikat Tuhan. Tuhan adalah wujud yang haq (benar) yang bukan asalnya tidak ada kemudian menjadi ada. Ia selalu mustahil tiada ada. Ia selalu ada dan akan selalu ada. Oleh karenanya Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului oleh wujud lain, tidak berakhir wujud-Nya dan tidak ada wujud kecuali dengan-Nya.

Bukti-bukti wujud Tuhan. Untuk membuktikan wujud Tuhan ia menggunakan tiga jalan, yaitu : Satu baharunya alam, kedua keanekaragman dalam wujud (katsrah fil maujudat) dan ketiga kerapian alam.[2]

Untuk jalan pertama, Al-Kindi menanyakan apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi wujud dirinya, ataukah tidak mungkin. Dijawabnya, bahwa hal itu tidaklah mungkin. Jelasnya ialah bahwa alam ini baru dan ada permulaannya, karena alam ini terbatas. Oleh sebab itu, mesti ada yang menyebabkan alam ini terjadi (ada yang menjadikan). Tidak mungkin ada benda yang ada dengan sendirinya, dengan demikian, maka ia diciptakan oleh penciptanya dari tiada.

Untuk jalan kedua, Al-Kindi mengatakan bahwa dalam alam ini tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa keseragaman atau ada keseragaman tanpa keanekaragaman. Kalau ada indrawi tergabung dalam keanekaragaman dan keseragaman bersama-sama, maka hal itu bukan karena kebetulan, melainkan karena sesuatu sebab. Akan tetapi “Sebab” ini bukanlah alam itu sendiri, sebab kalau alam menjadi sebab, maka tidak akan ada habisnya, demikian seterusnya, sedangkan sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu “Sebab” tersebut haruslah berada di luar alam dan lebih mulia, lebih tinggi dan lebih dulu adanya, karena “Sebab” harus ada sebelum ma’lul-nya (efek, akibat).

Untuk jalan ketiga, yaitu jalan kerapian alam dan pemeliharaan Tuhan terhadapnya, Al-Kindi mengatakan bahwa alam lahir tidak mungkin rapi dan teratur kecuali ada Zat yang tidak nampak. Zat tidak nampak tersebut hanya dapat diketahui melalui bekas-bekas-Nya dan kerapian yang terdapat di alam ini. Jalan ini terkenal dengan nama illat ghayah (illat tujuan) yang telah ditentukan oleh Aristoteles sebelumnya.

Sifat-sifat Tuhan. Persoalan sifat-sifat Tuhan ramai dibicarakan orang pada masa Al-Kindi. Diantara sifat-sifat Tuhan ialah Keesan, suatu sifat yang paling khas bagi-Nya. Tuhan itu satu Zat-Nya dan satu dalam hitungan. Karena itu pula maka sifat Tuhan ialah “Yang Maha Tahu, Yang Maha Berkuasa, Yang Hidup” dan seterusnya.

Al-Kindi membuktikan keesaan tersebut dengan mengatakan bahwa “Ia bukan benda (huyula,maddah),bukan form (shurah), tidak mempunyai kuantitas, tidak mempunyai kualitas, tidak berhubungan dengan yang lain (idhafah), misalnya sebagai anak atau bapak, tidak bisa disifati dengan apa yang ada dalam fikiran, bukan genus, bukan differentia (fasl), bukan proprium (khassah), bukan accident (‘aradl), tidak bertubuh, tidak bergerak. Karenanya, maka Tuhan adalah keesaan belaka, tidak ada lain kecuali keesaan itu semata.

Dahulu, mulai zaman Renaisans atau sejak zaman Descartes, orang-orang mengatakan bahwa yang menentukan sesuatu itu adalah pikiran. Kaum empiris di Inggris mengatakan bahwa sesuatu itu ada kalau ia bisa diamati. Hal-hal yang gaib harus menyingkir dari ilmu pengetahuan. Hampir selama tiga ratus tahun lebih orang tidak mau mempersoalkan yang gaib. Sehingga aktivitas berpikir pun dianggap sebagai mekanisme dari unsur fosfor yang ada dalam otak manusia. Bahkan Feuerbach, seorang berkebangsaan Jerman, mengatakan bahwa kalau tidak ada fosfor, maka orang tidak bisa berfikir. Fosforlah yang menyebabkan seseorang berfikir.

Baru sekitar pada tahun 1970-an, di kalangan ilmuwan fisika tumbuh suatu minat baru terhadap dunia gaib. Fisika, ketika didalami lebih lanjut membawa mereka kepada dunia metafisika. Seorang ahli fisika pernah mengatakan, “Kita tiba-tiba berjalan menuju pintu agama, rahasia-rahasia alam; tiba-tiba menyingkap sesuatu yang ghaib di alam semesta ini yang tidak bisa diamati secara empirik, tetapi detaknya ada”. Pada tahun 1970-anlah mulai terjadi arus balik pemikiran ilmuwan. Mereka mulai mengakui adanya unsur gaib di alam semesta ini, yakni unsur-unsur yang tidak bisa diamati oleh panca indra, oleh alat-alat laboratorium. Itulah yang di dalam bahasa agama disebut ghaib muthlaq, bukan ghaib mudhafi.

Menurut arti katanya, gaib berarti sesuatu yang tersembunyi dari pengamatan. Ada dua macam ghaib, yaitu ghaib mudhafi dan ghaib mutlaq. Ghaib mudhafi adalah sesuatu yang relatif di suatu waktu dan tempat. Misalnya orang yang tidak hadir di suatu pertemuan, berarti ia ghaib di tempat itu. Ia ghaib di tempat tersebut tapi tidak ghaib di tempat lain. Sedangkan ghaib muthlaq adalah sesuatu yang tidak bisa diamati oleh panca indra dalam situasi apapun.

Dalam surat Qaaf, ayat 21-22 disebutkan :

Dan datanglah setiap jiwa bersama dengannya seorang malaikat pengiring dan malaikat penyaksi. Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tirai yang menutup matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.

Jadi sebetulnya menurut Al-Qur’an, sesuatu yang ghaib itu adalah sesuatu yang tertutup tirai yang menghalangi pandangannya.

Orang-orang tasawuf berbicara tentang kasyaf. Kasyaf artinya membuka tirai. Kalau seseorang sudah mencapai tingkat tertentu, maka tirai akan terbuka baginya, sehingga ia akan melihat hal yang ghaib yang tidak bisa dilihat dengan pengamatan.

Para ilmuwan fisika sekarang mengakui adanya ghaib muthlaq. Mereka kini merumuskan crazy hypotheses, hipotesis gila. Misalnya ketika mereka menemukan bahwa elektron bisa berpindah dari satu lingkaran ke lingkaran lain tanpa melalui ruang, kemudian mereka merumuskan hipotesis gila : Karena peredaran bumi – berikut planet-planet lain – mengelilingi matahari mirip dengan peredaran elektron mengelilingi proton, maka bisa saja dihipotesiskan bahwa tiba-tiba bumi ini berpindah ke orbit yang lain tanpa melewati ruang dan waktu. Ketika kita berbicara tentang suatu benda yang tidak terikat ruang dan waktu, berarti kita berbicara tentang sesuatu yang ghaib. Sebab sesuatu yang hadir, yang syahid, terikat dengan ruang dan waktu. Misalnya saya mau pindah dari tempat duduk ini ke tempat duduk yang lain. Saya harus bergerak melewati ruang dan memerlukan waktu. Itu terjadi karena saya tidak termasuk ghaib muthlaq melainkan ghaib mudhafi.

Islam mengakui adanya dua jenis makhluk , baik yang ghaib maupun yang syahid. Allah berfirman dalam surat Al-Hasyr ayat 22 :

Dialah Allah yang tiada tuhan selain Dia, Maha Mengetahui yang ghaib dan yang syahid, Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Mengenai ayat ini ada ahli tafsir yang mengatakan bahwa sifat Al-Rahman itu berhubungan dengan hal-hal yang ghaib dan syahadah, sedangkan sifat Al-Rahim berhubungan dengan kenikmatan yang ghaib. Jadi Al-Rahman adalah kasih sayang Allah yang meliputi hal yang ghaib dan syahid. Sedangkan Al-Rahim adalah kasih sayang Allah yang khusus berkaitan dengan nimat-nikmat ghaybiyah, nikmat-nkmat yang ghaib. Sebagian ulama yang lain menafsirkan bahwa Al-Rahman ialah kasih sayang Allah kepada orang Islam dan orang kafir, kasih sayang kepada semua manusia. Adapun Al-Rahim merupakan kasih sayang Allah yang khusus kepada yang beriman saja.

Ada sebuah buku berjudul Al-Imdad Al-Ghaybi fi fi Al-Hayat Al-Basyariyah. Artinya, Bantuan Ghaib Dalam Kehidupan Manusia. Maksudnya adalah bahwa dalam kehidupan ini terdapat bekas-bekas yang ghaib. Sebetulnya kita ini berhubungan dengan yang ghaib. Ada sambungan antara kita dengan yang ghaib. Salah satu cara untuk menghubungkan kita dengan yang ghaib itu ialah shalat. Pada saat shalat sebetulnya kita sedang berhubungan dengan yang ghaib. Al-Quran sebenarnya juga merupakan bekas—bekas (jejak-jejak) dari yang ghaib, yang tampak pada kita. Ahli tasawuf mengatakan bahwa kita hanya bisa dekat dengan Allah bila kita dekat dengan sesuatu yang datangnya dari-Nya. Artinya, kalau kita ingin membuka tirai kegaiban maka lakukanlah lewat Al-Quran. Karena Al-Quran itu posisinya marjinal berada diantara yang ghaib dengan yang syahid. Ia berasal dari yang ghaib tapi sekarang ia bisa kita saksikan.

Dulu pernah terjadi perdebatan menarik di kalangan ahli kalam : Apakah Alquran itu makhluk atau bukan makhluk. Sebetulnya perdebatan ini terjadi karena Al-Quran memang memiliki unsur ghaibnya. Al-Quran menyatakan dalam surat Ar-Ra’du ayat 31 : ”Seandainya ada satu Al-Quran yang dengannya bukit-bukit bisa berjalan bumi bisa terbelah dan orang mati bisa berbicara,tapi kepunyaan Allah-lah segala urusan” (QS Al-Ra’d, 13 : 31).

Para ahli tafsir ramai betul membicarakan ayat ini : Bagaimana sebuah Al-Quran bisa membuat bukit-bukit berjalan, membelah bumi dan menyebabkan orang mati berbicara ?

Sekarang kita akan membicarakan berita-berita ghaib di dalam al-Quran. Ada beberapa jenis berita ghaib dalam Al-Quran yaitu :

Yang pertama, Pengetahuan Tentang Allah SWT, nama-nama-Nya, kitab-kitab-Nya, berita tentang makhluk-makhluk ruhaniah, seperti malaikat dan jin, berita-berita tentang kehidupan sesudah mati di alam barzakh, kehidupan ruh sebelum dibangkitkan, syurga dan neraka. Itu semua berita-berita ghaib yang disampaikan oleh Al-Quran yang tidak bisa di-idrak oleh panca indra. Tapi menurut Al-Quran dan dalam kehidupan para rasul, makhluk-makhluk itu mempunyai hubungan dengan alam yang hadir ini. Hanya saja, karena kehidupan kita yang sangat materialistis dan menyingkirkan fenomena-fenomena non empiris dalam kehidupan kita, maka hubungan kita dengan yang ghaib itu seakan-akan terputus, padahal menurut Islam, malaikat itu masih terus berhubungan dengan kita semua. Dalam Al-Quran disebutkan, “Sesungguhnya orang-orang yang berkata Tuhan kami adalah Allah, lalu mereka beristiqamah, akan turun kepada mereka malaikat (yang berkata kepada mereka) : Janganlah kalian takut dan jangan bersedih, gembiralah dengan surga yang telah dijanjikan untuk kalian. Kami adalah sahabat-sahabat kalian dalam kehidupan dunia dan akirat nanti. Kelak di surga itu kalian akan memperoleh apa yang kalian inginkan, dan di dalamnya kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan di dalamnya kalian memperoleh apa yang kalian minta, sebagai hidangan dari Tuhan Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang (QS Fushshilat, 41 : l0-32).

Menurut ayat di atas, malaikat senantiasa berhubungan dengan kita. Dalam Al-Quran juga disebutkan bahwa pada Laylat Al-Qadr, malaikat dan ruh turun, “Tanazzal al-malaikatu wa al-ruh fiha bi idzni rabihim min kulli amr” (QS Al-Qadr, 97 : 4). Turunnya malaikat ke bumi ini merupakan hubungan kita dengan yang ghaib. Jadi sebetulnya para malaikat dan makhluk ruhaniah itu masih berhubungan dengan kita.

Pada zaman Rasulullah saw, ada beberapa contoh peristiwa yang menceritakan hubungan manusia hidup dengan hal yang ghaib. Dalam Aqidah Islamiyah karya Sayyid Sabiq diceritakan ada seseorang sedang membaca Al-Quran pada malam hari. Ia membacanya di kandang kuda, sementara anaknya tertidur di sampingnya. Saat tengah malam kuda itu meringkik keras. Orang itu berhenti membaca karena takut kuda tersebut menginjak anaknya. Lalu kuda tersebut meringkik lagi. Ketika sampai pada saat tertentu, ia melihat keluar. Dan terlihat ada semacam asap membumbung ke angkasa. Esok paginya ia menanyakan peristiwa itu kepada Rasulullah saw.

“Ya Rasulullah, malam tadi saya membaca Al-Quran. Tiba-tiba kuda meringkik keras” . “Apakah kamu terus membaca Al-Quran ?” tanya beliau . Orang itu menjawab “Ya saya meneruskan membaca Al-Quran, kemudian kuda itu meringkik lagi.” Lalu apakah kamu terus membaca ?” tanya beliau lagi. Orang itu menjawab, “ Tidak, ya Rasulullah, dan setelah itu saya melihat di luar ada semacam awan yang membumbung ke angkasa.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Kalau kamu meneruskan membaca Al-Quran, niscaya tirai kegaiban akan dibukakan kepadamu.”

Kita tidak tahu bagaimana yang sebenarnya. Sayang orang itu tidak meneruskan membaca. Kalau saja ia meneruskan pembacaan itu, maka akan sampai kepada kita berita tentang tirai ghaib yang tersingkap tersebut. Dalam hadits lain yang populer di kalangan ahli tasawuf juga disebutkan hal serupa tadi. Kalau orang telah membersihkan jiwanya, hingga syetan tidak ikut mengalir dalam darahnya, maka akan dibukakan baginya kerajaan langit dan bumi.

Di kalangan tasawuf sendiri beredar berita-berita atau cerita-cerita yang aneh-anah. Ada satu tahap dalam perkembangan seorang sufi yang disebut sakar, mabuk. Pada tahap ini seorang sufi seperti kehilangan ingatannya, seperti gila. Sebenarnya kegilaan itu terjadi ketika tirai kegaiban terbuka baginya. Ketika tirai itu terbuka, ia merasa bingung karena tidak mampu mengungkapkan apa yang disaksikannya lewat bahasa yang ada. Sebab , bahasa manusia sebetulnya hanya berkenaan dengan benda-benda yang ada dalam pengalamannya saja. Jadi, kalau seseorang menemukan pengalaman yang betul-betul baru, maka bahasanya tidak ada yang bisa mengungkapkannya. Jadi, para sufi itupun kesulitan untuk mengungkapkan pengalaman-pengalaman spiritual mereka. Lalu keluarlah apa yang disebut sathahat, yakni ucapan-ucapan yang tidak puguh , yang tidak ada artinya. Tapi bagi para sufi ucapan-ucapan itu dimaksudkan untuk mengungkapkan pengalaman batiniah mereka pada saat mereka menyaksikan yang ghaib itu.

Saya ilustrasikan begini, misalnya saya ingin bercerita tentang pesawat terbang kepada masyarakat yang belum pernah melihatnya. Saya akan sulit menceritakannya. Dalam masyarakat itu tidak ada kata tentang pesawat terbang. Barangkali nanti saya akan menggambarkannya sebagai semacam burung yang terbuat dari besi. Kita pun akan kesulitan berbicara dengan orang yang awam tentang konsep-konsep ilmiah, karena kata-kata ilmiah itu tidak ada dalam bahasa mereka.

Yang kedua, berita-berita tentang umat terdahulu, yang tidak bisa kita ketahui kecuali lewat bekas-bekas sejarah yang sampai kepada kita, berupa relief atau dokumen. Dalam Al-Quran kita diberitahu tentang umat-umat terdahulu. Kita, misalnya diberitahu tentang pemuda-pemuda yang tertidur di gua selama tiga ratus tahun lebih. Ini merupakan berita ghaib karena Rasulullah tidak sempat jadi ahli sejarah, tidak ada relief atau dokumen yang sampai kepada beliau.

Yang termasuk ghaib jenis kedua ini adalah berita-berita tentang manusia yang akan datang. Misalnya Al-Quran menggambarkan tentang Abu Lahab dan istrinya yang akan mati sebagai orang kafir. “Tabbat yada abi lahab wa tabb... (Binasalah kedua tangan Abu Lahab...dst).” Ayat ini turun ketika Abu Lahab masih hidup. Padahal, mungkin bisa saja Abu Lahab masuk Islam karena kesadarannya, hingga ayat Al-Quran itu jadi salah. Kita berfikir rasional, andaikan Muhammad itu bukan nabi, yakni orang biasa lalu beliau mengatakan bahwa Abu Lahab itu tetap kafir dan masuk neraka, lalu ternyata Abu Lahab datang masuk Islam, maka berarti Muhammad salah. Tapi ternyata tidak demikian. Sampai meninggalnya Abu Lahab tidak masuk Islam. Untuk orang–orang lain Al-Quran tidak menyatakan begitu. Mungkin diantara orang-orang kafir itu ada yang akhirnya masuk Islam. Kebanyakan sahabat Nabi juga kafir dulu. Diriwayatkan bahwa sahabat Nabi yang tidak kafir terlebih dahulu hanyalah Ali bin Abi Thalib, yang masuk Islam ketika ia masih kecil. Jadi, ia tidak sempat jadi orang kafir.

Alquran juga menceritakan tentang kekalahan bangsa Romawi dalam QS Al-Rum 30 : 2-3 “Bangsa Rum dikalahkan di dekat bumi (negeri) ini. Dan setelah kekalahan itu, mereka akan mengalahkan kembali.” Saat itu bangsa Romawi dikalahkan oleh kerajaan Persia. Lalu Al-Quran mengatakan bahwa orang-orang Romawi akan menang kembali dan mengalahkan bangsa Persia, sehingga pada saat itu orang-orang beriman akan bergembira ria. Asbab al nuzul- nya begini. Orang-orang musyrik berkata,”Lihatlah orang-orang musyrik itu ternyata menang juga. Allah tidak menolong orang-orang beriman (maksudnya orang-orang Romawi, karena meraka termasuk pengikut agama Nasrani, sedangkan Persia adalah penganut agama Majusi, penyemabah berhala). Ternyata agama Majusi bisa mengalahkan agama Nashrani.” Lalu orang musyrik itu berkata, “Berarti kita juga bisa mengalahkan Muhammad.”

Setelah itu Al-Quran memberitahukan bahwa orang-orang Persia akan dikalahkan kembali oleh orang-orang Romawi itu. Pada hari yang sama , orang-orang Islam akan bergembira ria karena memperoleh kemenanagan. Ternyata kemenangan orang–orang Rumawi itu persis waktunya dengan kemenangan orang-orang Islam pada perang Badar.

BIBLIOGRAFI

Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Departemen Agama.

Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990

Cecep Sumarna, Prof. Dr., Revolusi Kebudayaan, Mulia Press,

Bandung, 2008.

K.Bertens, Panorama Filsafat Modern, PT. Gramedia, Jakarta,

1987.

K.Bertens, Filsafat Barat Abad XX, PT. Gramedia, Jakarta, 1990

Ahmad Tafsir, DR, Filsafat Umum, PT. Remaja Rosyda Karya,

Bandung, 1992.

Louis o. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana Yogya,

Yogyakarta, 1992


[1] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, h. 115

[2] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.

Tidak ada komentar: